Rabu, 24 Maret 2010

KONSISTENSI UNTUK LEMBALI KE KHITAH

KEINGINAN untuk dekat dengan kekuasaan rupanya menjadi hasrat yang sulit dibendung para elite organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama (NU).

Dua kandidat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sowan ke kediaman pribadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, Bogor, pekan lalu. Mereka adalah KH Salahuddin Wahid dan KH Said Aqil Siradj.

Komentar kritis datang dari berbagai kalangan.

Kekhawatiran bahwa aksi sowan keduanya akan membuat NU kian terseret ke dalam politik praktis pun mengemuka. Perilaku politik Gus Solah dan Said Aqil itu dikhawatirkan membuat NU sebagai organisasi sosial keagamaan menjadi kian rawan intervensi pemerintah.

Atas kritik seperti itu baik Gus Solah maupun Said Aqil memiliki argumennya sendiri-sendiri. Tetapi apa pun alasannya, menemui presiden di saat-saat menjelang muktamar seperti ini mempertegas kebiasaan mohon restu kepada penguasa. Kebiasaan yang kemudian menumbuhkan kultur dependensi.

Bukan kali ini saja NU dihadapkan pada situasi untuk mendekat atau menjauh dari kekuasaan. Sejak KH Hasyim Asy'ari bersama KH Wahab Chasbullah mendirikan NU dengan semangat Khittah 1926, entah sudah berapa kali NU menyerukan untuk kembali ke khitah. Artinya entah berapa kali NU atau para pemimpin NU sesungguhnya telah keluar dari rel dan harus dikembalikan lagi kepada jalur yang ditetapkan para pendirinya sendiri.

Kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa dan terpilihnya Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai Presiden Keempat RI adalah salah satu di antara titik-titik puncak ketika kaum sarungan sangat dekat dengan kekuasaan atau bahkan berada dalam kekuasaan dan berkuasa.

Sesungguhnya opsi dan keputusan untuk memilih mendekat atau menjauh dari kekuasaan ada pada kaum nahdiyin sendiri. Mendekat atau menjauh, semuanya sah-sah saja dilakukan. Asalkan dilakukan dengan cara-cara yang patut, konsisten, dan konsekuen. Masuk ke politik praktis untuk mendekat atau meraih kekuasaan kendaraannya adalah partai politik. Sangat tidak tepat dan tidak terpuji menggunakan ormas seperti NU sebagai kendaraan untuk itu.

Karena itu, membuat NU rawan intervensi pemerintah jelas tidak terpuji. Apalagi membuatnya bergantung kepada negara. Mengapa para calon Ketua PBNU harus menghadap penguasa sebelum mengikuti muktamar? Mengapa Muktamar NU harus dibuka presiden, bukan oleh tokoh NU sendiri?

Mestinya NU menjadi lembaga pemberdayaan umat yang mandiri. Kuncinya ada di tangan para pemimpin NU yang kini sedang bermuktamar.

Para pemimpin NU semestinya menjadi lokomotif yang mampu menarik gerbong kaum nahdiyin ke arah pemberdayaan. Jangan sampai mereka menjadi lokomotif yang meninggalkan gerbong nahdiyin melaju ke arah kekuasaan dengan kendaraan ormas.

Selasa, 23 Maret 2010

NU harus Kembali ke Khittah

JAKARTA--MI: Salah satu calok Ketua Umum NU KH Masdar F. Mas'udi menilai keberadaan Muktamar NU 2010 di Makassar merupakan momen pertaruhan yang menentukan.

"Sekarang ini NU berada dalam kepungan tantangan dan ancaman dari berbagai segi yang belum pernah dialami masa-masa sebelumnya," kata Masdar dalam siaran persnya, Selasa (23/3).

Tantangan itu, menurutnya, tantangan kekuasaan. NU mengalamai kebekuan hubungan akibat terlalu jauh memasuki arena pertarungan politik. Selama ini NU lebih banyak menjadi pendukung dan pencari suara (vote getter) dari calon dan partai tertentu.? Akibatnya dimata kekuasaan, NU dipandang sebelah mata.

NU juga menghadapai tantangan ketika mengalamai gangguan penyusupan bahkan pengambil alihan basis-basis keumatannya, terutama masjid-masjid Nahdliyyin, oleh kelompok-kelompok gelap pendatang baru berfaham radikal.

Sedangkan terkait hubungan antara umat Nahdliyyin dengan elite NU sendiri. Masdar melihat selama ini semakin dirasakan antara elite NU dengan warganya, terasa sangat renggang. Ketaatan dari berbagai tausiyah yang disampaikan oleh elite NU semakin lama semakin dirasakan berkurang oleh warga.

"Tantangan hubungan warga Nahdliyyin dengan elite NU sendiri yang kian renggang. Bahkan antara zu'ama dengan ulama NU sendiri yang selama ini terasa saling menjauh satu sama lain. Penyebabnya antara lain kalkulasi dan hubungan politis yang mempengaruhi hubungan lahir dan batin diantara mereka," tegas Masdar.

Satu-satunya jalan untuk mengatasi semua ancaman, menurutnya, adalah bertekad kembali ke jati diri, khittah 1926, yang secara operasional berarti, kembali ke umat. "NU sebagai jam'iyyah dan ulama sebagai pengendalinya semunya musti bekerja untuk melayani umat. Umat adalah wajah Allah di muka bumi. Melayani Allah berarti secara nyata NU melayani umat," tandas Masdar.

Ia juga menegaskan sebagai jalur aspirasi umat, agenda utama NU adalah persoalan ekonomi, kesehatan, pendidikan, budaya dan lingkungan sebagai acuannya. Tidak ada yang perlu diragukan dan dikhawatirkan dari umat, terutama kalangan mustadh?afinnya. Ketika NU memalingkan kembali wajahnya dan mendampingi umat dan setia melayani mereka maka semua problem yang mengamcam NU diatas akan teratasi dengan baik.

Muktamar NU adalah momentum pertaruhan besar; hendak bangkit menuju kejayaan atau justru terpuruk dan terbuang. Adalah wajib bagi para muktamirin, untuk mengembalikan jati diri NU sebagai jangkar keutuhan Indonesia yang bhineka dan benteng moralitas bangsa. (*/OL-02)

Sosok Ideal Pemimpin NU

Menyambut Muktamar NU Ke-32

Oleh : Muhtadin AR

Muktamar NU (Nahdlatul Ulama) yang ke-32 akan dihelat tanggal 22 sampai 28 Maret 2010 di Makassar Sulawesi Selatan. Hajatan lima tahunan itu di samping mengagendakan pemecahan masalah-masalah keagamaan (masail al diniyah) dan kebangsaan, juga pemilihan Rais Aam (Syuriah) dan Ketua Umum (Tanfidziyah) .
Untuk posisi Rais Aam setidaknya ada lima ulama besar yang namanya beredar, yaitu KH Sahal Mahfudz (Pati), Habib Lutfi (Pekalongan) , KH Maimun Zubair (Sarang Rembang), KH Musthofa Bisri (Gus Mus, Rembang), dan KH Hasyim Muzadi (Malang). Sementara untuk posisi Ketua Umum, sudah ada tujuh kandidat yang menyatakan siap memimpin ormas ini. Ketujuh nama tersebut adalah KH Masdar Farid Mas’udi, Prof Dr KH Said Aqiel Siradj, KH Salahuddin Wahid, Drs H Slamet Efendi Yusuf, H Ahmad Bagdja, H Ali Maschan Moesa, dan intelektual muda, Ulil Abshar-Abdalla.
Tulisan ini tidak akan menelaah tokoh tersebut satu persatu, apa kelebihan dan kekurangannya, serta bagaimana peta dukungan terhadap mereka di arena Muktamar nanti. Tetapi lebih pada kebutuhan organisasi ini dalam menjawab tantangan zaman. Tokoh yang mampu menakhodai kapal NU dari gelombang besar yang bisa menenggelamkan dirinya. Gelombang-gelombang besar itu antara lain.

Pertama, secara organisatoris, NU dihadapkan pada pola pengelolaan organisasi yang tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Munculnya istilah “NU Struktural” dan “NU Kultural” beberapa tahun belakangan ini adalah salah satu contoh bagaimana masing-masing jamaah dalam organisasi ini memiliki potensi membuat kelompok sendiri, dan saling berhadap-hadapan, bukan bahu-membahu untuk saling mendukung. Yang struktural sangat “menyepelekan” keberadaan yang kultural, sementara yang kultural menganggap yang struktural tidak bisa bekerja dan tidak becus mengelola roda organisasi.
Belum lagi pola hubungan antara pengurus dengan warganya yang kurang berimbang. Banyak sekali keputusan organisasi yang tidak sebangun sejalan dengan keinginan warganya. Misalnya, di satu sisi para pengurus NU sangat intens mengarahkan pilihan politik warganya, sementara di sisi lain warganya memilih pilihan yang lain.
Dalam urusan politik, kita juga belum melihat pola komunikasi yang efektif, efisien dan terbuka, terutama dengan partai yang didirikannya, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Secara kasat mata di banyak daerah, bahkan kita jumpai adanya “rivalitas” antara pengurus NU dan pengurus PKB, terutama dalam perebutan pemilihan kepala daerah.

Kedua, secara ideologis, muncul upaya menggoyang ideologi NU. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa NU adalah organisasi yang sangat komitmen dalam memegang nilai-nilai moderatisme dan universalisme. Dengan berpegang pada doktrin tasamuh, tawazun, dan i’tidal, NU telah menjelma menjadi organisasi yang moderat, sangat menghargai budaya lokal, dan bisa diterima semua kalangan. NU tidak hanya mengayomi kelompok-kelompok minoritas dan berbeda, tetapi juga ikut memperjuangkan hak-hak mereka.
Namun, beberapa tahun belakangan, wajah moderat itu tidak begitu tampak dengan sempurna. Ada banyak luka yang menggores wajah NU. Dalam beberapa kali kesempatan, NU bahkan menampakkan “wajahnya yang galak”, seperti dalam kasus Ahmadiyah, liberalisasi, dan juga RUU APP (Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi). NU terombang-ambing oleh perkembangan paham keagamaan yang liberal di satu sisi, dan kelompok konservatif yang mengarah kepada radikalisme di sisi lain.
Ketiga, tantangan untuk terlibat dalam pergaulan internasional. Selama ini dalam diri NU disematkan istilah “organisasi terbesar” di dunia. Tapi, menjadi pertanyaan bersama, seberapa besar organisasi ini? Dan seberapa kuat pengaruhnya, terutama dalam percaturan global?

Memang di samping memiliki warga terbesar (menurut survei LSI tahun 2004: warga yang mengaku NU berjumlah 40 persen pemilih Indonesia), beberapa tahun belakangan ini pengurus NU (PBNU) juga gencar membuat NU cabang istimewa di negara-negara lain, mengampanyekan Islam rahmatan lil alamin, dan mengkritisi gerakan Islam transnasional yang anti budaya lokal dan cenderung keras.
Tapi seberapa besar gerakan ini memiliki dampak internasional? Atau minimal, seberapa banyak dunia internasional “mendengarkan” pendapat NU dalam persoalan-persoalan internasional, seperti persoalan terorisme misalnya? Seberapa banyak keputusan-keputusan yang dihasilkan NU, termasuk keputusan di bidang keagamaan menjadi tema, bahan diskusi, dan rujukan dunia?

Problem Harus Diselesaikan
Problem-problem ini mutlak harus diselesaikan jika kapal besar NU ingin tetap berlayar dengan sempurna. Ada banyak risiko yang harus dipikul NU jika problem-problem itu tidak diselesaikan. Yang paling sederhana adalah semua yang dicita-citakan dan diprogramkan oleh organisasi tidak akan bisa berjalan karena energinya hanya habis untuk memikirkan “kelakuan” sang nakhoda.

Rais Aam sebagai pimpinan tertinggi organisasi memegang posisi sangat sentral, karena semua keputusan harus mendapatkan persetujuan darinya. Tapi, posisi Ketua Umum juga tak kalah pentingnya. Sebagai mandataris, posisi Ketua Umum sangat dominan dalam mencetak hitam-putihnya organisasi. Maju-mundurnya organisasi sangat dipengaruhi oleh tingkah laku dan kebijakannya. Jika figur Ketua Umum adalah se- orang yang memiliki watak politisi, maka warna NU akan menjadi sangat politis, seperti saat kepemimpinan KH Hasyim Muzadi. Sementara jika figurnya adalah seorang intelektual, maka nuansa intelektualitas akan tampak dominan, seperti pada saat NU dipimpin KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Karenanya, Muktamar ke-32 ini adalah momentum memilih Rais Aam dan Ketua Umum yang tidak hanya bisa menyelesaikan semua problem di atas, tetapi juga memiliki kepribadian sangat baik. Pemimpin yang cerdas, jujur, visioner dan tidak mudah menuduh yang berbeda itu “sesat”. Pemimpin yang berani mengambil risiko, tidak “menjual” NU demi kepentingan pribadi, dan tidak menjerumuskan warganya dalam kehidupan yang sangat pragmatis.

NU juga membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki tradisi keilmuan (keagamaan dan umum) sangat kuat. Karena sebagai simbol organisasi keagamaan, figurnya dijadikan acuan masyarakat umum. Di samping itu, juga butuh figur yang mampu mengelola dan mengendalikan roda organisasi secara tepat, menjaga jamaah dari godaan ideologi konservatif dan keras, serta memiliki pengalaman internasional.
Inilah momentum memperbaiki organisasi yang dimulai dengan memilih figur tepat. Masih segar dalam pikiran kita, bahwa Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU) bukan hanya mewariskan kepada generasi sesudahnya berupa jama’ah (warga nahdliyin), tetapi juga mewariskan jam’iyah (organisasi) . Jadi sangat tidak masuk akal jika warganya saja yang diurusi, tetapi organisasinya dilupakan. Apalagi warganya dilupakan, organisasinya juga tidak pernah dipikirkan, hanya sebatas untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompok.

Sangat berisiko jika pemimpin NU ke depan adalah sosok yang tidak memenuhi kriteria di atas. Keterbelakangan yang dihadapi warga nahdliyin dalam berbagai aspek kehidupan (pendidikan, sosial, kesehatan, dan lainnya) harus segera dijawab dengan kebijakan dan penyelesaian yang tepat. Problemnya, adakah calon Rais Aam dan Ketua Umum yang memenuhi kriteria dan memiliki kepribadian seperti yang dibutuhkan warga nahdliyin tersebut di atas? Pasti ada.

Penulis adalah Nahdliyin, Tinggal di Demak, Jawa Tengah

NU dan Kebangkitan Islam Indonesia

Kebangkitan umat Islam dunia tidak bisa terlepas dari kebangkitan Islam di Indonesia sebagai negara dengan umat islam terbesar di dunia.

Namun, kebangkitan Islam di Indonesia juga tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan Nahdlatul Ulama sebagai kelompok terbesar umat Islam di Indonesia. Indonesia memiliki banyak faktor unggulan, antara lain: wilayahnya luas,letaknya strategis,dengan kekayaan alam yang melimpah serta beraneka, jumlah umat Islamnya terbesar,dan tidak kalah penting corak keislamannya yang moderat (tawassuth) dan toleran (tasamuh) terhadap kebhinekaan. Faktor terakhir adalah karakter keislaman Nusantara, keislaman yang dianut dan dihayati oleh NU. Namun, kebangkitan NU dan umat Islam di Indonesia itu tidak akan datang dengan sendirinya.

Konsekuensi logis dari pola pikir ini adalah keharusan untuk memperkuat NU secara matang dan sistematis. NU belum menata diri dengan semestinya selama ini.Dari waktu ke waktu selalu saja selalu ada pihak yang terus berusaha meminggirkan NU dan umatnya. Sebagian mereka karena pandangan keagamaannya yang picik dan menganggap dirinya yang paling benar, sebagian karena hasrat politik dan kekuasaan yang berlebihan. Selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir,NU kerap dipinggirkan dan dilemahkan, terutama di masa Orde Baru (Orba). Padahal Orba tidak mungkin hadir tanpa NU. Setiap bangsa ini dalam bahaya, NU dan para ulamanya selalu tampil di depan untuk menyelamatkannya.

Fatwa Jihad untuk mengusir penjajah di awal kemerdekaan adalah kontribusi nyata ulama NU terhadap Indonesia ketika negara pada kondisi yang sangat lemah. Selain memperhatikan gangguan dari luar, internal NU sendiri– baik jajaran pemimpin di semua level dan segenap warganya di seluruh pelosok negeri–harus berbenah secara super serius. Sayyidina Ali pernah mengatakan bahwa kebenaran tanpa nidham, gampang dikalahkan oleh kebatilan yang ber-nidham. Nidham adalah organisasi dan manajemen.Hanya dengan kejamaahan, suatu kelompok bisa mendapatkan kekuatan dari Allah SWT. Alaikum biljamaha; Yadullah fauqal jamaah (Kalian wajib berjamaah); Kekuatan Allah hanya dianugerahkan kepada mereka yang mau berjamaah.

Wadah kebersamaan (jamaah) itulah yang disebut jam’iyah, atau organisasi. Syarat utama dari kuatnya jam’iyah NU adalah kesepakatan mengenai tujuan bersama dan agenda bersama sebagai nahdliyin. Adapun tujuan bersama (ghayah ijtimaiyyah/ collective goal) warga nahdliyin dalam wadah NU adalah ”terwujudnya tatanan masyarakat Islam Indonesia yang maju dan bermartabat sesuai ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang bercirikan tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), tawassuth (moderat) dan i’tidal (lurus).

*** Mengacu pada apa yang dipikirkan para pendiri NU ada empat agenda besar jam’iyah: Pertama, agenda menjaga integritas dan keutuhan NKRI, seperti diinspirasikan oleh gerakan Nahdlatul Wathan(Kebangkitan Tanah Air). Kedua,agenda memajukan ”pemikiran keagamaan”yang mampu menjawab tantangan zaman yang terus berubah dan bergerak maju, seperti diinspirasikan oleh gerakan Tashwirul Afkar(Refomulasi Pemikiran Keagamaan). Ketiga,agenda memajukan ”kesejahteraan umat” dimulai dari yang paling nyata, kesejahteraan ekonomi, seperti diinspirasikan oleh gerakan Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Para Pedagang). Agenda keempat adalah mempertahankan ”Keberislaman yang santun dan kokoh dalam garis moderasi” seperti diinspirasikan oleh misi Komite Hijaz yang berisi ulama besar mancanegara dengan dipimpin KH Hasyim Asy’ari.

Sasaran tembak Komite Hijaz waktu itu adalah untuk menyangkal gerakan ekstrem kanan Wahabisme-Fundament alistik. Tapi secara implisit juga sekaligus koreksi terhadap kecenderungan ekstrem kiri Sekularisme– Liberalistik. Dari empat agenda itu, baru satu yang sudah berjalan dengan baik,yakni: agenda mempertahankan keutuhan NKRI. Baik ketika era revolusi kemerdekaan, ketika ada gangguan separatisme DI/TII, ketika menghadapi G30-S PKI,dan munculnya aksi separatisme belakangan ini.Tapi tiga agenda lainnya, harus diakui masih belum optimal pelaksanaannya. Untuk mendorong ketiga agenda tersebut, NU butuh kebersamaan yang kokoh dengan dukungan kepemimpinan yang solid dari, minimal tiga unsur.

Pertama, kalangan profesional terdidik yang memiliki kemampuan dan komitmen pengabdian, sebagai gugus andalan pelayanan umat garda depan,di semua lini; mulai pusat sampai di tingkat kepengurusan akar rumput. Komponen ini akan lebih baik kalau bisa mencapai 70% dari keseluruhan pengurus NU. Kedua, adalah para ulama/kiai yang berwawasan kepemimpinan (qiyadah) dan pengayoman (riayah), sebagai jangkar keutuhan serta integritas moral serta akhlaq Jam’iyah,mulai dari tingkat paling bawah sampai dengan tingkat teratas. Mendapatkan 25% saja komponen kedua dari keseluruhan kepengurusan sudah sangat bersyukur.

Ketiga,yang lebih elite dan khawasadalah gugusan awliyasebagai jangkar spiritual Jam’iyah; yakni orang-orang suci yang kesibukannya hanya berdoa dan berdoa dengan air mata dalam kesunyian malam agar NU dan bangsa ini tetap dalam perlindungan, bimbingan dan rida-Nya. Jika komponen ini ada 5% saja dari gugusan kepemimpinan NU, itu sudah sangat mewah. Karena inilah yang secara mendasar membedakan NU dari ormas lainnya. Tanpa kehadiran dan tangis mereka rasanya apalah bedanya NU dengan lainnya.

*** Perlu dilakukan dakwah secara serentak dari Sabang sampai Merauke, kepada penganut kultur keagamaan NU agar secara sadar bergabung dalam wadah Jamiyah NU. Untuk itu di semua sekolah, pesantren,musala dan masjid-masjid nahdliyin harus segera dibentuk kepengurusan NU. Perlu di- NU-kan warga NU dan sebaliknya yang bukan warga NU jangan diganggu. Hakikat NU adalah sebagai wadah keumatan.Sebagai organisasi, NU adalah ibarat masjid, masjid virtual (maknawi) yang tidak kasat- mata tapi nyata adanya.

Bedanya, masjid jasmani yang terbuat dari kayu dan beton adalah tempat menunaikan amal saleh perorangan (fardiyah) untuk hablun minallah secara berjamaah; sementara NU sebagai organisasi adalah masjid tempat menunaikan amal saleh kolektif (ijtimaiyah) secara berjamaah.Salat saja sebagai agenda perorangan (fardiyah) yang sah dilakukan sendirian toh disuruh berjamah; bagaimana dengan amaliyahkolektif (membangun kejayaan umat) yang tidak mungkin terwujud tanpa kebersamaan? Jamaah untuk kesalehan sosial jauh lebih diperintahkan dibanding dengan jamaah kesalehan individual. Maka membangun NU sebagai masjid virtual,masjid sosial, bisa lebih besar pahalanya, dibanding membangun masjid material.

Dan meramaikan NU sebagai masjid sosial dengan kesalehan sosial, tentunya juga lebih besar keutamaannya, dibanding dengan memakmurkan masjid material dengan kesalehan personal.Sebagai umat Islam yang mengemban cita-cita kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin) mutlak untuk membangun dan memakmurkan kedua jenis masjid tadi. Seseorang baru bisa disebut pengurus NU, kalau yang diurus lebih dari sekedar tahlil dan ngaji. Pengurus NU yang dicari adalah yang memajukan empat agenda besar NU untuk kepentingan warganya. Para Nahdliyin juga tidak cukup ber-NU sekedar dengan tahlil dan dibaan serta ngaji kitab kuning, yang kesemuanya adalah agenda perorangan. Tanpa organisasi NU pun tahlil, dibaan dan ngaji kitab kuning, bisa berjalan.

Tapi meski sudah tahlil dan qunut jika belum berperan nyata dalam kebangkitan umat Islam di Indonesia serta dunia, belumlah dapat disebut warga NU. Semua hal yang telah dijabarkan tidak mudah dicapai, di dunia ini sedikit sekali hal baik yang mudah. Tapi ingat,juga tidak ada yang mustahil, jika mau bekerja keras dan tidak gampang menyerah.Man jadda wajada (Siapa yang bersungguh- sungguh pasti dapat).(*)

Masdar F Mas’udi
Ketua Tanfidziyah PBNU

NU KEMBALI KE KHITTAH, NU KEMBALI KE UMAT

Muktamar NU 2010 di Makassar adalah momen pertaruhan yang menentukan : NU Bangkit Menuju Kejayaan dan Kemartabatannya, atau Terpuruk dan Terbuang dari Sejarah.
Sekarang ini NU berada dalam kepungan tantangan dan ancaman dari berbagai segi yang belum pernah dialami masa-masa sebelumnya, tantangan itu adalah :
  1. Tantangan kekuasaan. NU mengalamai kebekuan hubungan akibat terlalu jauh memasuki arena pertarungan politik. Selama ini NU lebih banyak menjadi pendukung dan pencari suara (vote getter) dari calon dan partai tertentu. Akibatnya dimata kekuasaan, NU dipandang sebelah mata.
  2. Tantangan NU ketika mengalamai gangguan penyusupan bahkan pengambil alihan basis-basis keumatannya, terutama masjid-masjid Nahdliyyin, oleh kelompok-kelompok gelap pendatang baru berfaham radikal.
  3. Tantangan kebawah yaitu hubungan antara umat Nahdliyyin dengan elite NU sendiri. Selama ini semakin dirasakan antara elite NU dengan warganya, terasa sangat renggang. Ketaatan dari berbagai tausiyah yang disampaikan oleh elite NU semakin lama semakin dirasakan berkurang oleh warga.
  4. Tantangan Hubungan warga Nahdliyyin dengan elite NU sendiri yang kian renggang. Bahkan antara zu’ama dengan ulama NU sendiri yang selama ini terasa saling menjauh satu sama lain. Penyebabnya antara lain kalkulasi dan hubungan politis yang mempengaruhi hubungan lahir dan batin diantara mereka.
Satu-satunya jalan untuk mengatasi semua ancaman tersebut adalah bertekad kembali ke jati diri, khittah 1926, yang secara operasional berarti, KEMBALI KE UMAT. NU sebagai jam’iyyah dan ulama sebagai pengendalinya semunya musti bekerja untuk melayani umat. Umat adalah wajah Allah di muka bumi. Melayani Allah berarti secara nyata NU melayani umat.
Sebagai jalur aspirasi umat, agenda utama NU adalah persoalan ekonomi, kesehatan, pendidikan, budaya dan lingkungan sebagai acuannya. Tidak ada yang perlu diragukan dan dikhawatirkan dari umat, terutama kalangan mustadh’afinnya. Ketika NU memalingkan kembali wajahnya dan mendampingi umat dan setia melayani mereka maka semua problem yang mengamcam NU diatas akan teratasi dengan baik.
Muktamar NU adalah momentum pertaruhan besar; hendak bangkit menuju kejayaan atau justru terpuruk dan terbuang. Adalah wajib bagi para muktamirin, untuk mengembalikan jati diri NU sebagai jangkar keutuhan Indonesia yang bhineka dan benteng moralitas bangsa.

Trimakasih,

K.H. Masdar F. Mas’udi
Informasi : 0852-42056721

Di Situbondo Kembali ke Jati Diri, di Makassar...

Hari ini hingga tanggal 28 Maret Nahdlatul Ulama (NU) menggelar muktamar ke-32 di Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam catatan sejarahnya, muktamar NU selalu menghasilkan keputusan-keputusan penting bagi ormas Islam tradisional ini, warga nahdliyyin, maupun bangsa dan negara.

Peran NU sepeninggal KH Bisri Syansuri April 1980 di kancah politik nasional, terutama di internal PPP, berada di titik terbawah. KH Idham Khalid sebagai ketua umum PBNU sekaligus presiden PPP, tak bisa berbuat banyak menghadapi manuver HJ Naro sebagai ketua umum PPP, yang gerakannya banyak memarginalkan politikus dan kiai NU di PPP.

Karena itu, di kalangan kiai dan kaum muda reformis NU berkembang pemikiran mengembalikan ormas Islam ini ke jati dirinya. Adalah KH Achmad Siddiq dari Jember dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjadi tokoh kunci di balik kebijakan kembali ke khitah 1926 menjelang dan saat Muktamar Situbondo.

Kebijakan ini didasarkan raison d’etre NU adalah organisasi keagamaan di bawah kepemimpinan ulama. Dominasi kepemimpinan politikus sepeninggal KH Bisri Syansuri sungguh merisaukan kalangan ulama NU dan kaum muda reformis di NU.

Selain Kiai Achmad Siddiq yang menulis Khittah Nadhliyyah dan sudah diberikan pada muktamirin di Muktamar Semarang 1979 serta Gus Dur, ada empat kiai khos NU yang memberikan legitimasi dan dukungan penuh atas langkah Kiai Siddiq dan Gus Dur meneguhkan kembali jati diri NU sebagai ormas Islam, bukan parpol atau bagian parpol tertentu.

Keempatnya yakni KH As’ad Syamsul Arifin dari Pondok Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, KH Machrus Aly (Pondok Lirboyo Kediri), KH Ali Ma’shum (Pondok Krakyak Yogyakarta), dan KH Masjkur, mantan ketua PBNU. Keempat kiai itu, 2 Mei 1982 meminta KH Idham Khalid mengundurkan diri dari jabatan ketua umum PBNU.

Setelah itu jabatan ad interim ketua umum PBNU dipangku KH Ali Ma’shum, yang juga pelaksana rais aam sepeninggal KH Bisri Syansuri. Manuver para kiai yang di kemudian hari dikenal dengan Kelompok Situbondo mengakibatkan gejolak di internal NU, khususnya perlawanan dari kubu politikus NU di Jakarta yang merapat ke KH Idham Khalid. Mereka ini kemudian dikenal dengan Kelompok Cipete.

Pertentangan Kelompok Situbondo yang berisi ulama kultural dan reformis muda NU di bawah pimpinan KH As’ad Syamsul Arifin versus Kelompok Cipete tak berlangsung lama. Adalah Ny Wahid Hasyim, ibunda Gus Dur dan anak KH Bisri Syansuri, yang jadi mediator islah. Karena itu, baik Munas NU di Situbondo 1983 dan muktamar ke-27 di tempat sama 8-12 Desember 1984 berlangsung sukses.

Keputusan yang dihasilkan di antaranya memilih KH Achmad Siddiq sebagai rais aam dan Gus Dur jadi ketua umum PBNU. Saat keduanya terpilih melalui mekanisme ahlul halli wal aqdi di bawah pimpinan KH As’ad Syamsul Arifin, Kiai Achmad Siddiq berusia 63 dan Gus Dur 39 tahun.

Formasi kepemimpinan NU yang ditentukan melalui mekanisme ahlul halli wal aqdi di bawah pimpinan KH As’ad Syamsul Arifin pada muktamar ke-27 di Situbondo, ternyata berakibat kurang berjalan efektifnya roda organisasi 1984-1989. Gus Dur sebagai ketua umum didampingi Anwar Nurris selaku sekjen.

Namun demikian, personel inti PBNU hasil Muktamar Situbondo juga bukan atas pilihan ketua umum atau rais aam, tapi ditentukan enam ulama senior NU yang masuk ahlul halli wal aqdi.

Oleh karenanya, pada muktamar NU ke-28 tahun 1989 di Pondok Krapyak Yogyakarta, banyak kritik muncul atas kinerja PBNU yang dinilai hanya banyak bicara dan tak bisa memenuhi janji-janjinya.

Apalagi pada Pemilu 1987 terjadi gerakan penggembosan PPP oleh kiai dan politikus NU yang tak puas dengan kepemimpinan partai ini di bawah kembali HJ Naro dan politikus Parmusi (MI).

Ketidakpuasan atas kepemimpinan Kiai Achmad Siddiq-Gus Dur periode 1984-1989 juga muncul dari KH As’ad Syamsul Arifin. Langkah dan pernyataan Gus Dur yang kontroversial, seperti assalamualaikum diganti selamat pagi, membuat marah Kiai As’ad dan banyak kiai lainnya, seperti KH Masjkur dari Jakarta.

Tapi, KH Ali Ma’shum yang pernah menjadi guru Gus Dur saat nyantri di Pondok Krapyak jadi pembela utama Gus Dur. Kiai Ali bisa memaafkan Gus Dur.
Formasi Jatim-Jatim kembali terpilih dalam Muktamar Krapyak. Kiai Achmad Siddiq terpilih sebagai rais aam, setelah di babak pemilihan secara langsung dengan merengkuh 188 suara dan KH Idham Khalid yang diajukan Kelompok Cipete di posisi kedua meraih 116 suara. Untuk posisi ketua umum tanfidziyah tetap diduduki Gus Dur yang terpilih secara aklamasi setelah KH Yusuf Hasyim — paman Gus Dur — tersisih di babak pencalonan.

Jabatan wakil rais aam dimenangkan KH Ali Yafie, seorang ulama NU dari Sulawesi Tengah yang selama ini dikenal dengan Kelompok Idham Khalid. Kiai Ali Yafie merebut 202 suara dan mengalahkan KH Sahal Mahfudh, salah satu pioner gerakan reformasi NU pada Muktamar Situbondo.

Agar kinerja PBNU berjalan efektif, duet Kiai Achmad Siddiq dan Gus Dur yang duduk sebagai formatur secara langsung menentukan dan memilih pembantu dekatnya. Jabatan sekjen PBNU diberikan kepada Gaffar Rahman, tokoh muda yang dinamis, reformis, dan teman lama Gus Dur dari Jatim.

KH Ma’ruf Amin, seorang ulama Islam tradisional dengan kapasitas keilmuan dan pendidikan sangat memadai diposisikan sebagai sekretaris atau khatib syuriah PBNU. Dalam Muktamar Krapyak 1989, NU secara institusional tetap meneguhkan jadi dirinya sebagai jam’iyyah diniyyah Islam.
Paling Keras Dalam usianya mencapai 69 tahun, NU menggelar muktamar ke-29 di Pondok Cipasung, Tasikmalaya, Jabar di pondok milik KH Iljas Ruhijat yang terpilih sebagai rais aam sepeninggal KH Achmad Siddiq dalam munas di Lampung.
Muktamar Cipasung yang dihelat awal Desember 1994 berlangsung panas. Greg Fealy (1997) menulis, muktamar ke-29 paling kontroversial dalam catatan perjalanan NU.

Muktamar Cipasung berlangsung dalam iklim hubungan NU-pemerintah, khususnya Gus Dur-Soeharto, dalam titik didih paling tinggi. Kedekatan Gus Dur dengan aktivis NGO yang berjaringan internasional juga membuat jengkel penguasa Orde Baru.

Formasi kepemimpinan Jabar-Jatim yang kemudian tampil di pucuk pimpinan NU hasil Muktamar Cipasung. Rais aam dipangku KH Iljas Ruhiyat. Kiai Iljas dikenal sebagai ulama senior NU berpenampilan kalem, sangat dihormati, dan netral politik. Dia terpilih sebagai rais aam dengan harapan mampu mengendorkan ketegangan-ketegangan di NU selama 12 bulan terakhir sebelum muktamar akibat intervensi pihak eksternal.

Sebenarnya Kiai Iljas pertama kali terpilih sebagai pjs rais aam pada Munas NU di Lampung setahun sebelum Muktamar Cipasung digelar. Pada Munas Lampung itu, terjadi deadlock tentang penunjukan pjs rais aam antara KH Yusuf Hasyim atau KH Sahal Mahfud, sepeninggal KH Achmad Siddiq. Sedang jabatan wakil rais aam dipangku KH Sahal Mahfudh.

Justru, paling panas adalah pemilihan ketua umum. Gus Dur menghadapi tiga pesaing berat yakni Abu Hasan, seorang pengusaha dan aktivis NU yang bergerak di bidang lembaga pemberdayaan sosial ekonomi di NU. Lalu, Chalid Mawardi, aktivis NU dari Jakarta yang dekat dengan KH Idham Khalid. Serta Dr Fahmi Saefuddin Zuhri, anak mantan sekjen PBNU dan mantan Menag KH Saefuddin Zuhri dari Banyumas, Jateng.

Dr Fahmi lama berkiprah di pemerintahan, terutama di Kementerian Kesejahteraan Rakyat dan menjadi kolega Gus Dur ketika bersama-sama merumuskan konsep kembali ke khitah 1926 pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo.

Untuk pemilihan ketua umum, pada tahap pencalonan, ada empat figur yang tampil. Gus Dur memperoleh 157 suara, Abu Hasan (136), Fahmi Saefuddin (17), dan Chalid Mawardi 6 suara. Posisi Gus Dur sangat rawan, karena tak menyentuh angka 50%.

Pasca-Muktamar Cipasung, rumah tangga NU tak pernah tenang akibat adanya rongrongan pihak eksternal. Abu Hasan membentuk KPPNU setelah menggelar muktamar tandingan di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta.

Reformasi 1998 memberikan banyak berkah berbagai kelompok yang bertahun-tahun menjadi oposan rezim Orde Baru, termasuk Gus Dur dan aktivis NU. Selain bisa membentuk partai baru, PKB, ruang politik kalangan NU makin terbuka. Gus Dur terpilih sebagai presiden ke-4 RI pada SU MPR 1999. Gus Dur diusung kaukus politik Poros Tengah yang di-pandegani Amien Rais dan Fuad Bawazier.

Tak berselang lama setelah Gus Dur berada di puncak kekuasaan, berlangsung Muktamar NU ke-30 di Pondok Lirboyo Kediri, Jatim. KH Sahal Mahfudh yang terpilih sebagai rais aam dengan Wakil Rais Aam KH Fahruddin Masturo (Sukabumi/Jabar) serta Ketua Umum KH Hasyim Muzadi (Jatim).
Muktamar Boyolali
Bagaimana Muktamar Boyolali akhir November 2004? Pada Muktamar Boyolali terjadi rivalitas antara paman versus keponakan, antara Poros Langitan di bawah kendali KH Abdullah Faqih versus Poros Lirboyo di bawah pengaruh KH Idris Marzuki, dan antara kiai politik versus kiai kultural.
Dalam Muktamar Boyolali, kubu Poros Langitan menjagokan Gus Dur sebagai rais aam dan KH Masdar Farid Mas’udi sebagai ketua umum PBNU. Sedang kubu Poros Lirboyo menjagokan KH Sahal Mahfudh untuk rais aam dan KH Hasyim Muzadi sebagai ketua umum PBNU.

Iklim hangat Muktamar Boyolali karena banyak faktor. Di antaranya, KH Hasyim Muzadi habis kalah dalam Pilpres 2004 dalam dua kali putaran atas pasangan SBY-JK. Kiai Hasyim saat itu berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri yang diusung PDI-P. Sayap politik NU, yakni PKB pada Pilpres 2004 mendukung pasangan Wiranto-Gus Solah. Limbah politik Pilpres 2004 ternyata berimbas pada Muktamar Boyolali.

Setelah dilakukan proses pemungutan suara di tahap pencalonan, Kiai Sahal menang mutlak atas Gus Dur sehingga terpilih secara aklamasi sebagai rais aam. Jabatan wakil rais aam dipangku KH Tolchah Hasan, seorang kiai, pendidik, rektor Universitas Islam Malang, dan pernah menjabat Menteri Agama di era pemerintahan Gus Dur-Mega. Sedangkan posisi ketua umum PBNU dimenangkan KH Hasyim Muzadi setelah menang mutlak atas KH Masdar Farid Mas’udi.

Muktamar Boyolali juga menegaskan, NU secara politik menjaga jarak yang sama dengan semua kekuatan politik. Apakah keputusan Muktamar NU ke-32 di Makassar nanti menghasilkan sesuatu yang krusial bagi NU dalam politik dan sosial. Kita tunggu saja. (Ainur Rohim-54)

K.H. Masdar F. Mas’udi Kembalikan NU pada Khittah-nya

Inilah.com, 20/03.2010
Banyak warga NU mengharapkan Muktamar ke-32 di Makassar akan membahas konflik di tubuh PKB. Namun tampaknya hal itu tidak akan terwujud. Mau dibawa kemana NU?
Salah satu kandidatnya Ketua Umum PBNU adalah Masdar F Mas’udi. Tokoh muda yang juga Ketua PBNI (2004-2009) itu itu memiliki program untuk mengembalikan NU kepada khitah-nya. Program unggulan saya adalah membenahi ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan warga Nadhliyin.

“Ini program internal,” paparnya. Program eksternalnya adalah kampanye Islam sebagai cinta damai, cinta perbedaan, dan menghargai kebhinekaan. Tentu saja program-program itu harus dijalankan dengan dukungan pemerintah

Masdar dikenal sebagai intelektual NU yang memiliki pemikiran maju. Namun sering gagasannya terlalu maju sehingga belum dapat diterima warga NU sendiri. Misalnya, ia pernah mengatakan bahwa pelaksanaan ibadah haji dapat dilakukan dalam enam shift, tidak hanya satu shift seperti yang terjadi saat ini.

Dengan demiikian, musim haji dapat dilaksanakan berlangsung selama tiga bulan sesudah Ramadhan sehingga tidak berdesak-desakan. Namun, gagasan ini ditolak sebagian besar warga NU. Berikut petikan wawancara wartawan INILAH.COM, Kawiyan dengan tokoh yang di kalangan NU dikenal dengan sebutan kyai muda.

Banyak yang menginginkan agar Muktamar NU membahas konflik politik yang terjadi di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Keinginan ini wajar mengingat PKB dilahirkan oleh NU. Bagaimana pendapat Anda?
Muktamar memang akan membahas masalah politik tetapi dalam konteks yang lebih umum, tidak khusus menyangkut PKB. Jadi yang dibahas nanti menyangkut etika politik, hubungan politik dengan warga NU, dan politik kemaslahatan bagi warga NU.

Mengapa tidak ada pembahasan khusus tentang PKB dan rekomendasi politik warga NU?
Kalau muktamar membahas secara khusus mengenai PKB itu namanya intervensi. PBNU tidak mau melakukan intervensi terhadap PKB. Para politisi di PKB saya kira dapat menyelesaikan konflik yang terjadi. Harus diingat, warga NU tidak hanya di PKB tetapi banyak juga di partai politik lain.

Jadi tidak ada semacam ‘rekomendasi’ untuk penyelesaian konflik PKB?
Tidak ada. Mungkin setelah muktamar nanti pengurus PBNU akan melakukan silaturrahmi dalam rangka membantu menyelesaikan konflik PKB. Itu pun akan dilakukan terhadap partai-partai politik lain.

NU kan organisasi kemasyarakat terbesar di negeri ini. Apakah ada tanda-tanda intervensi dari pemerintah menjelang muktamar nanti? Atau ada kandidat tertentu yang mencoba mendapatkan dukungan dari pemerintah?
Saya belum tahu. Yang pasti, apapun yang terjadi saya berharap muktamar NU harus berakhir dengan keputusan-keputusan yang strategis untuk mengembalikan fungsi NU sebagai jangkar kokohnya NKRI.

Kedua, muktamar harus mengembalikan NU sebagai kekuatan masyarakat sipil penopang demokrasi dan moralitas bangsa. Ketiga, muktamar harus memastikan NU sebagai wadah perkhitaman untuk kepentingan umat dan rakyat Indonesia. Dan keempat, muktamar harus memastikan bahwa NU bebas dari politisasi elit orang perorang untuk memperolah jabatan-jabatan politik.

Apakah kasus pencalonan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi sebagai Cawapres pada 2004 termasuk dalam kategori memanfaatkan NU untuk kepentingan politik perorangan?
Ya Anda tahu sendirilah, nggak usah disebut. Mengapa tidak boleh memakai bendera NU, karena bisa menimbulkan perpecahan di kalangan NU. Mana yang mendukung dan menolak menggunakan bendera NU. Ini kan merugikan NU secara organisasi.

Tapi boleh kan tokoh NU jadi Capres, Wapres atau calon lainnya?
Ya boleh tapi syaratnya harus mundur dari kepengurusan di PBNU. Bahkan, ke depan pengurus PBNU tidak boleh menjadi pengurus partai politik. Harus pilih salah satu supaya tidak rancu. Sebab, NU bukanlah partai politik.

Warga NU ada di mana-nama, NU harus menjaga jarak yang sama dengan partai-partai politik. NU berkomitmen menjadi payung bagi seluruh warga NU. Kalau mau mengejar jabatan politik, PBNU akan rela melepas kadernya untuk terjun di partai.

Bagaimana kesiapan Anda untuk bersaing menjadi Ketua Umum PBNU?
Saya sudah siap. Ketika Muktamar NU di Solo 2004, saya termasuk kandidat yang lolos dengan dukungan suara minimal bersama pak Hasyim Muzadi. Jadi, hanya ada dua calon ketika itu, saya dan Pak Hasyim.
Dari mana saja dukungan Anda?
Dari mana-mana, dari pesantren dan organisasi-organisasi di bawah NU. Insya Allah dukungan itu akan terus bertambah.

Program apa yang akan Anda tawarkan di muktamar nanti?
Saya punya program dan jaringan untuk kembalikan NU kepada khitah-nya. Program unggulan saya adalah membenahi ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan warga Nadhliyin. Ini program internal.

Program eksternal, saya ingin agar NU kampanye Islam sebagai cinta damai, cinta perbedaan, dan menghargai kebhinekaan. Tentu saja program-program itu harus dijalankan dengan dukungan pemerintah. [mdr]

Senin, 22 Maret 2010

Riwayat Hidup KH Masdar Farid Mas'udi

Nama : Masdar Farid Mas’udi
Ttl : Purwokerto, 18 September 1954
Alamat : Jl. Cililitan Kecil III/12, Kramatjati, Jakarta Timur
Telp. : (021) 809-1617, 809-2971
Fax. : (021) 809-1617
Email : masdarf@yahoo.com / masdarf@gmail.com


PENDIDIKAN

1994 – 1997 : Pasca Sarjana, Studi Filsafat, Universitas Indonesia, Jakarta
1972 – 1980 : Fakultas Syariah, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
1969 – 1974 : Pesantren KH. Ali Maksoem Krapyak, Yogyakarta
1966 – 1968 : Pesantren KH. Chudlori, Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah
1960 – 1966 : Sekolah Dasar/ Ibtidaiyah, Purwokerto, Jawa Tengah

PENGALAMAN ORGANISASI

1973 - 1975 : Ketua PMII Komisaris, PP. Krapyak Yogyakarta
1976 - 1978 : Sekjen Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
1983 - 1985 : Ketua 1 PB-PMII ( Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
1982 - 1983 : Anggota Kelompok G, dan Tim 24 yang menggagas Kembalinya NU ke Khittah 1926.
1983 - 1984 : Anggota Tim Tujuh Perumus Khittah NU 1926
1984 - 1989 : Wakil Ketua Tim Asistensi Pemikiran Sosial Keagamaan untuk Rois Am KH. Ahmad Sidiq dan Ketuan Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid.
1989 - 1998 : Wakil Ketua RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiy ) PBNU
1996 - 2001 : Anggota Komisi Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia
1999 - 2003 : Katib Awal Syuriah PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama)
2001 - 2004 : Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI
2004 - 2009 : Dewan Pembina APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia)
2004 (Mei – Sept) : Pelaksana Harian (PLH) Ketua Umum PBNU atas Keputusan Majlis Syuriah PBNU, selama KH. Hasyim Muzadi menjadi CAWAPRES 2004
2004 - Skrg : Ketua 1 PBNU


PENGALAMAN PROFESIONAL

1980 – 1982 : Wartawan – Redaktur Harian EKUIN, Jakarta
1983 – 1991 : Redaktur Pelaksana Jurnal Islam “PESANTREN”
1993 – 1994 : Wakil Direktur P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat/ The Indonesian Society for Pesantren And Community Development)
1994 – 2009 : Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta
1996 - 1999 : Dosen Islamologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
1998 - Skrg : Rois Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Unggul Al-BAYAN, Sukabumi, Jabar
2004 - Skrg : Pengasuh Sekolah (SMP & SMA) Islam Unggul Nururrahman, Depok, Jawa Barat
2000 - 2004 : Komisioner OMBUDSMAN Harian Kompas, Jakarta
2000 – 2008 : Komisioner KOMISI OMBUDSMAN NASIONAL
2002 - Skrg : Anggota Komisi Etik ICW (Indonesian Corruption
Watch)
2002 : Anggota Tim Seleksi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
2003 - 2009 : Ketua Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
2004 - 2008 : Dewan Pengawas Syariah (DPS ) Bank Permata Syariah
2005 : Anggota Panel 45 bagi Presiden RI untuk Sidang Umum PBB.
2008 – Skg : Anggota Ombudsman Republik Indonesia.


BUKU & ARTIKEL

1. Buku ”AGAMA KEADILAN, Risalah Zakat dalam Islam”; Pustaka Firdaus (1993), Mizan (2001), Jakarta. Tahun 2009 oleh Majalah Ilmiyah Univ. PARAMADINA dimasukkan dalam daftar 50 buku ke-Islaman asli Indonesia yang paling Berpengaruh.
2. Buku “ISLAM & WOMEN’S REPRODUCTIVE RIGHTS” ; Sister in Islam, Malaysia (2002). Tahun 2009 oleh Jurnal Ilmiyah Univ. PARAMADINA, dimasukkan dalam daftar 50 buku Penulis Indonesia paling berpengaruh.
3. Buku ”MEMBANGUN NU BERBASIS UMAT/ MASJID”, P3M, Jakarta, 2007
4. Buku ”SYARAH UUD 1945, Perspektif Islam”, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2009
5. Artikel-artikel untuk Jurnal, Majalah dan Koran Nasional maupun Daerah.
6. Banyak juga buku atau tesis tentang Pemikiran MASDAR F MAS’UDI

PENGALAMAN INTERNASIONAL : 1. Seminar on “Religion and Peace”, Manila, Philipina (1985)
2. Comparative Study on “Religious Organizations in America Serikat”, for 5 weeks (1996)
3. Participant and Presenter on “International Seminar on Islam and Women Reproductive Rights”, In Cairo, Mesir (1997)
4. Participant and Presenter on ”International Seminar on HIV/AIDS”, in Manila, Philipina (1998)
5. Participant and Presenter on “International Seminar on Islam and Democracy”, in Kuala Lumpur (1999)
6. Participant on “Short Course on Anthropology”, Amsterdam University, Belanda (1999)
7. Seminar on “Ombudsman and Good Government”, Willingtown, New Zealand, 2002
8. Work Shop on “Ombudsman and Clean Government”, in Canberra, Australia, 2005
9. Conference on “The Prospect of Asia Pasific Ombudsman”, Sidney, April 2006
10. Supervision on “Indonesian Foreign Workers”, in Kuwait and Arab Amiratte, Mei 2006.
11. Following Roundtable discussion “Mosque as a centre for society development”, in Banglades, June 2006
12. International Seminar on “Ombudsman’s Role in Developing Countries”, in Perth, Australia, April, 2007
13. Course on “The Ombudsman; Task and Function”, in Tunisia, and visiting Ombudsman of Perancis, June, 2007.
14. Participant and Presenter in ”International Seminar on Religion and Pluralism”, in Davao, Manila, Philipine, July, 2007.
15. As speaker in “Dialog on Minority Group in Moslem Community”, in Frankfurt, Germany, August, 2007.
16. As member of Indonesian delegation of UN Conference “The 40th Session of the Committee Againt Torture” in Jeneva, Switzerland, May 6 -7, 2008.
17. As a keynote speaker in 2008 International Symposium “Islam for Social Justice and Sustainibility” : New Perspectives on Islamism and Pluralism in Indonesia” in Kyoto, Japan, September 16-17, 2008
18. As a participant in the first annual “US-Islamic World Region Forum” in Kuala Lumpur, Malaysia, October 13-14, 2008