Selasa, 23 Maret 2010

Di Situbondo Kembali ke Jati Diri, di Makassar...

Hari ini hingga tanggal 28 Maret Nahdlatul Ulama (NU) menggelar muktamar ke-32 di Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam catatan sejarahnya, muktamar NU selalu menghasilkan keputusan-keputusan penting bagi ormas Islam tradisional ini, warga nahdliyyin, maupun bangsa dan negara.

Peran NU sepeninggal KH Bisri Syansuri April 1980 di kancah politik nasional, terutama di internal PPP, berada di titik terbawah. KH Idham Khalid sebagai ketua umum PBNU sekaligus presiden PPP, tak bisa berbuat banyak menghadapi manuver HJ Naro sebagai ketua umum PPP, yang gerakannya banyak memarginalkan politikus dan kiai NU di PPP.

Karena itu, di kalangan kiai dan kaum muda reformis NU berkembang pemikiran mengembalikan ormas Islam ini ke jati dirinya. Adalah KH Achmad Siddiq dari Jember dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjadi tokoh kunci di balik kebijakan kembali ke khitah 1926 menjelang dan saat Muktamar Situbondo.

Kebijakan ini didasarkan raison d’etre NU adalah organisasi keagamaan di bawah kepemimpinan ulama. Dominasi kepemimpinan politikus sepeninggal KH Bisri Syansuri sungguh merisaukan kalangan ulama NU dan kaum muda reformis di NU.

Selain Kiai Achmad Siddiq yang menulis Khittah Nadhliyyah dan sudah diberikan pada muktamirin di Muktamar Semarang 1979 serta Gus Dur, ada empat kiai khos NU yang memberikan legitimasi dan dukungan penuh atas langkah Kiai Siddiq dan Gus Dur meneguhkan kembali jati diri NU sebagai ormas Islam, bukan parpol atau bagian parpol tertentu.

Keempatnya yakni KH As’ad Syamsul Arifin dari Pondok Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, KH Machrus Aly (Pondok Lirboyo Kediri), KH Ali Ma’shum (Pondok Krakyak Yogyakarta), dan KH Masjkur, mantan ketua PBNU. Keempat kiai itu, 2 Mei 1982 meminta KH Idham Khalid mengundurkan diri dari jabatan ketua umum PBNU.

Setelah itu jabatan ad interim ketua umum PBNU dipangku KH Ali Ma’shum, yang juga pelaksana rais aam sepeninggal KH Bisri Syansuri. Manuver para kiai yang di kemudian hari dikenal dengan Kelompok Situbondo mengakibatkan gejolak di internal NU, khususnya perlawanan dari kubu politikus NU di Jakarta yang merapat ke KH Idham Khalid. Mereka ini kemudian dikenal dengan Kelompok Cipete.

Pertentangan Kelompok Situbondo yang berisi ulama kultural dan reformis muda NU di bawah pimpinan KH As’ad Syamsul Arifin versus Kelompok Cipete tak berlangsung lama. Adalah Ny Wahid Hasyim, ibunda Gus Dur dan anak KH Bisri Syansuri, yang jadi mediator islah. Karena itu, baik Munas NU di Situbondo 1983 dan muktamar ke-27 di tempat sama 8-12 Desember 1984 berlangsung sukses.

Keputusan yang dihasilkan di antaranya memilih KH Achmad Siddiq sebagai rais aam dan Gus Dur jadi ketua umum PBNU. Saat keduanya terpilih melalui mekanisme ahlul halli wal aqdi di bawah pimpinan KH As’ad Syamsul Arifin, Kiai Achmad Siddiq berusia 63 dan Gus Dur 39 tahun.

Formasi kepemimpinan NU yang ditentukan melalui mekanisme ahlul halli wal aqdi di bawah pimpinan KH As’ad Syamsul Arifin pada muktamar ke-27 di Situbondo, ternyata berakibat kurang berjalan efektifnya roda organisasi 1984-1989. Gus Dur sebagai ketua umum didampingi Anwar Nurris selaku sekjen.

Namun demikian, personel inti PBNU hasil Muktamar Situbondo juga bukan atas pilihan ketua umum atau rais aam, tapi ditentukan enam ulama senior NU yang masuk ahlul halli wal aqdi.

Oleh karenanya, pada muktamar NU ke-28 tahun 1989 di Pondok Krapyak Yogyakarta, banyak kritik muncul atas kinerja PBNU yang dinilai hanya banyak bicara dan tak bisa memenuhi janji-janjinya.

Apalagi pada Pemilu 1987 terjadi gerakan penggembosan PPP oleh kiai dan politikus NU yang tak puas dengan kepemimpinan partai ini di bawah kembali HJ Naro dan politikus Parmusi (MI).

Ketidakpuasan atas kepemimpinan Kiai Achmad Siddiq-Gus Dur periode 1984-1989 juga muncul dari KH As’ad Syamsul Arifin. Langkah dan pernyataan Gus Dur yang kontroversial, seperti assalamualaikum diganti selamat pagi, membuat marah Kiai As’ad dan banyak kiai lainnya, seperti KH Masjkur dari Jakarta.

Tapi, KH Ali Ma’shum yang pernah menjadi guru Gus Dur saat nyantri di Pondok Krapyak jadi pembela utama Gus Dur. Kiai Ali bisa memaafkan Gus Dur.
Formasi Jatim-Jatim kembali terpilih dalam Muktamar Krapyak. Kiai Achmad Siddiq terpilih sebagai rais aam, setelah di babak pemilihan secara langsung dengan merengkuh 188 suara dan KH Idham Khalid yang diajukan Kelompok Cipete di posisi kedua meraih 116 suara. Untuk posisi ketua umum tanfidziyah tetap diduduki Gus Dur yang terpilih secara aklamasi setelah KH Yusuf Hasyim — paman Gus Dur — tersisih di babak pencalonan.

Jabatan wakil rais aam dimenangkan KH Ali Yafie, seorang ulama NU dari Sulawesi Tengah yang selama ini dikenal dengan Kelompok Idham Khalid. Kiai Ali Yafie merebut 202 suara dan mengalahkan KH Sahal Mahfudh, salah satu pioner gerakan reformasi NU pada Muktamar Situbondo.

Agar kinerja PBNU berjalan efektif, duet Kiai Achmad Siddiq dan Gus Dur yang duduk sebagai formatur secara langsung menentukan dan memilih pembantu dekatnya. Jabatan sekjen PBNU diberikan kepada Gaffar Rahman, tokoh muda yang dinamis, reformis, dan teman lama Gus Dur dari Jatim.

KH Ma’ruf Amin, seorang ulama Islam tradisional dengan kapasitas keilmuan dan pendidikan sangat memadai diposisikan sebagai sekretaris atau khatib syuriah PBNU. Dalam Muktamar Krapyak 1989, NU secara institusional tetap meneguhkan jadi dirinya sebagai jam’iyyah diniyyah Islam.
Paling Keras Dalam usianya mencapai 69 tahun, NU menggelar muktamar ke-29 di Pondok Cipasung, Tasikmalaya, Jabar di pondok milik KH Iljas Ruhijat yang terpilih sebagai rais aam sepeninggal KH Achmad Siddiq dalam munas di Lampung.
Muktamar Cipasung yang dihelat awal Desember 1994 berlangsung panas. Greg Fealy (1997) menulis, muktamar ke-29 paling kontroversial dalam catatan perjalanan NU.

Muktamar Cipasung berlangsung dalam iklim hubungan NU-pemerintah, khususnya Gus Dur-Soeharto, dalam titik didih paling tinggi. Kedekatan Gus Dur dengan aktivis NGO yang berjaringan internasional juga membuat jengkel penguasa Orde Baru.

Formasi kepemimpinan Jabar-Jatim yang kemudian tampil di pucuk pimpinan NU hasil Muktamar Cipasung. Rais aam dipangku KH Iljas Ruhiyat. Kiai Iljas dikenal sebagai ulama senior NU berpenampilan kalem, sangat dihormati, dan netral politik. Dia terpilih sebagai rais aam dengan harapan mampu mengendorkan ketegangan-ketegangan di NU selama 12 bulan terakhir sebelum muktamar akibat intervensi pihak eksternal.

Sebenarnya Kiai Iljas pertama kali terpilih sebagai pjs rais aam pada Munas NU di Lampung setahun sebelum Muktamar Cipasung digelar. Pada Munas Lampung itu, terjadi deadlock tentang penunjukan pjs rais aam antara KH Yusuf Hasyim atau KH Sahal Mahfud, sepeninggal KH Achmad Siddiq. Sedang jabatan wakil rais aam dipangku KH Sahal Mahfudh.

Justru, paling panas adalah pemilihan ketua umum. Gus Dur menghadapi tiga pesaing berat yakni Abu Hasan, seorang pengusaha dan aktivis NU yang bergerak di bidang lembaga pemberdayaan sosial ekonomi di NU. Lalu, Chalid Mawardi, aktivis NU dari Jakarta yang dekat dengan KH Idham Khalid. Serta Dr Fahmi Saefuddin Zuhri, anak mantan sekjen PBNU dan mantan Menag KH Saefuddin Zuhri dari Banyumas, Jateng.

Dr Fahmi lama berkiprah di pemerintahan, terutama di Kementerian Kesejahteraan Rakyat dan menjadi kolega Gus Dur ketika bersama-sama merumuskan konsep kembali ke khitah 1926 pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo.

Untuk pemilihan ketua umum, pada tahap pencalonan, ada empat figur yang tampil. Gus Dur memperoleh 157 suara, Abu Hasan (136), Fahmi Saefuddin (17), dan Chalid Mawardi 6 suara. Posisi Gus Dur sangat rawan, karena tak menyentuh angka 50%.

Pasca-Muktamar Cipasung, rumah tangga NU tak pernah tenang akibat adanya rongrongan pihak eksternal. Abu Hasan membentuk KPPNU setelah menggelar muktamar tandingan di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta.

Reformasi 1998 memberikan banyak berkah berbagai kelompok yang bertahun-tahun menjadi oposan rezim Orde Baru, termasuk Gus Dur dan aktivis NU. Selain bisa membentuk partai baru, PKB, ruang politik kalangan NU makin terbuka. Gus Dur terpilih sebagai presiden ke-4 RI pada SU MPR 1999. Gus Dur diusung kaukus politik Poros Tengah yang di-pandegani Amien Rais dan Fuad Bawazier.

Tak berselang lama setelah Gus Dur berada di puncak kekuasaan, berlangsung Muktamar NU ke-30 di Pondok Lirboyo Kediri, Jatim. KH Sahal Mahfudh yang terpilih sebagai rais aam dengan Wakil Rais Aam KH Fahruddin Masturo (Sukabumi/Jabar) serta Ketua Umum KH Hasyim Muzadi (Jatim).
Muktamar Boyolali
Bagaimana Muktamar Boyolali akhir November 2004? Pada Muktamar Boyolali terjadi rivalitas antara paman versus keponakan, antara Poros Langitan di bawah kendali KH Abdullah Faqih versus Poros Lirboyo di bawah pengaruh KH Idris Marzuki, dan antara kiai politik versus kiai kultural.
Dalam Muktamar Boyolali, kubu Poros Langitan menjagokan Gus Dur sebagai rais aam dan KH Masdar Farid Mas’udi sebagai ketua umum PBNU. Sedang kubu Poros Lirboyo menjagokan KH Sahal Mahfudh untuk rais aam dan KH Hasyim Muzadi sebagai ketua umum PBNU.

Iklim hangat Muktamar Boyolali karena banyak faktor. Di antaranya, KH Hasyim Muzadi habis kalah dalam Pilpres 2004 dalam dua kali putaran atas pasangan SBY-JK. Kiai Hasyim saat itu berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri yang diusung PDI-P. Sayap politik NU, yakni PKB pada Pilpres 2004 mendukung pasangan Wiranto-Gus Solah. Limbah politik Pilpres 2004 ternyata berimbas pada Muktamar Boyolali.

Setelah dilakukan proses pemungutan suara di tahap pencalonan, Kiai Sahal menang mutlak atas Gus Dur sehingga terpilih secara aklamasi sebagai rais aam. Jabatan wakil rais aam dipangku KH Tolchah Hasan, seorang kiai, pendidik, rektor Universitas Islam Malang, dan pernah menjabat Menteri Agama di era pemerintahan Gus Dur-Mega. Sedangkan posisi ketua umum PBNU dimenangkan KH Hasyim Muzadi setelah menang mutlak atas KH Masdar Farid Mas’udi.

Muktamar Boyolali juga menegaskan, NU secara politik menjaga jarak yang sama dengan semua kekuatan politik. Apakah keputusan Muktamar NU ke-32 di Makassar nanti menghasilkan sesuatu yang krusial bagi NU dalam politik dan sosial. Kita tunggu saja. (Ainur Rohim-54)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar