Selasa, 23 Maret 2010

Sosok Ideal Pemimpin NU

Menyambut Muktamar NU Ke-32

Oleh : Muhtadin AR

Muktamar NU (Nahdlatul Ulama) yang ke-32 akan dihelat tanggal 22 sampai 28 Maret 2010 di Makassar Sulawesi Selatan. Hajatan lima tahunan itu di samping mengagendakan pemecahan masalah-masalah keagamaan (masail al diniyah) dan kebangsaan, juga pemilihan Rais Aam (Syuriah) dan Ketua Umum (Tanfidziyah) .
Untuk posisi Rais Aam setidaknya ada lima ulama besar yang namanya beredar, yaitu KH Sahal Mahfudz (Pati), Habib Lutfi (Pekalongan) , KH Maimun Zubair (Sarang Rembang), KH Musthofa Bisri (Gus Mus, Rembang), dan KH Hasyim Muzadi (Malang). Sementara untuk posisi Ketua Umum, sudah ada tujuh kandidat yang menyatakan siap memimpin ormas ini. Ketujuh nama tersebut adalah KH Masdar Farid Mas’udi, Prof Dr KH Said Aqiel Siradj, KH Salahuddin Wahid, Drs H Slamet Efendi Yusuf, H Ahmad Bagdja, H Ali Maschan Moesa, dan intelektual muda, Ulil Abshar-Abdalla.
Tulisan ini tidak akan menelaah tokoh tersebut satu persatu, apa kelebihan dan kekurangannya, serta bagaimana peta dukungan terhadap mereka di arena Muktamar nanti. Tetapi lebih pada kebutuhan organisasi ini dalam menjawab tantangan zaman. Tokoh yang mampu menakhodai kapal NU dari gelombang besar yang bisa menenggelamkan dirinya. Gelombang-gelombang besar itu antara lain.

Pertama, secara organisatoris, NU dihadapkan pada pola pengelolaan organisasi yang tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Munculnya istilah “NU Struktural” dan “NU Kultural” beberapa tahun belakangan ini adalah salah satu contoh bagaimana masing-masing jamaah dalam organisasi ini memiliki potensi membuat kelompok sendiri, dan saling berhadap-hadapan, bukan bahu-membahu untuk saling mendukung. Yang struktural sangat “menyepelekan” keberadaan yang kultural, sementara yang kultural menganggap yang struktural tidak bisa bekerja dan tidak becus mengelola roda organisasi.
Belum lagi pola hubungan antara pengurus dengan warganya yang kurang berimbang. Banyak sekali keputusan organisasi yang tidak sebangun sejalan dengan keinginan warganya. Misalnya, di satu sisi para pengurus NU sangat intens mengarahkan pilihan politik warganya, sementara di sisi lain warganya memilih pilihan yang lain.
Dalam urusan politik, kita juga belum melihat pola komunikasi yang efektif, efisien dan terbuka, terutama dengan partai yang didirikannya, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Secara kasat mata di banyak daerah, bahkan kita jumpai adanya “rivalitas” antara pengurus NU dan pengurus PKB, terutama dalam perebutan pemilihan kepala daerah.

Kedua, secara ideologis, muncul upaya menggoyang ideologi NU. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa NU adalah organisasi yang sangat komitmen dalam memegang nilai-nilai moderatisme dan universalisme. Dengan berpegang pada doktrin tasamuh, tawazun, dan i’tidal, NU telah menjelma menjadi organisasi yang moderat, sangat menghargai budaya lokal, dan bisa diterima semua kalangan. NU tidak hanya mengayomi kelompok-kelompok minoritas dan berbeda, tetapi juga ikut memperjuangkan hak-hak mereka.
Namun, beberapa tahun belakangan, wajah moderat itu tidak begitu tampak dengan sempurna. Ada banyak luka yang menggores wajah NU. Dalam beberapa kali kesempatan, NU bahkan menampakkan “wajahnya yang galak”, seperti dalam kasus Ahmadiyah, liberalisasi, dan juga RUU APP (Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi). NU terombang-ambing oleh perkembangan paham keagamaan yang liberal di satu sisi, dan kelompok konservatif yang mengarah kepada radikalisme di sisi lain.
Ketiga, tantangan untuk terlibat dalam pergaulan internasional. Selama ini dalam diri NU disematkan istilah “organisasi terbesar” di dunia. Tapi, menjadi pertanyaan bersama, seberapa besar organisasi ini? Dan seberapa kuat pengaruhnya, terutama dalam percaturan global?

Memang di samping memiliki warga terbesar (menurut survei LSI tahun 2004: warga yang mengaku NU berjumlah 40 persen pemilih Indonesia), beberapa tahun belakangan ini pengurus NU (PBNU) juga gencar membuat NU cabang istimewa di negara-negara lain, mengampanyekan Islam rahmatan lil alamin, dan mengkritisi gerakan Islam transnasional yang anti budaya lokal dan cenderung keras.
Tapi seberapa besar gerakan ini memiliki dampak internasional? Atau minimal, seberapa banyak dunia internasional “mendengarkan” pendapat NU dalam persoalan-persoalan internasional, seperti persoalan terorisme misalnya? Seberapa banyak keputusan-keputusan yang dihasilkan NU, termasuk keputusan di bidang keagamaan menjadi tema, bahan diskusi, dan rujukan dunia?

Problem Harus Diselesaikan
Problem-problem ini mutlak harus diselesaikan jika kapal besar NU ingin tetap berlayar dengan sempurna. Ada banyak risiko yang harus dipikul NU jika problem-problem itu tidak diselesaikan. Yang paling sederhana adalah semua yang dicita-citakan dan diprogramkan oleh organisasi tidak akan bisa berjalan karena energinya hanya habis untuk memikirkan “kelakuan” sang nakhoda.

Rais Aam sebagai pimpinan tertinggi organisasi memegang posisi sangat sentral, karena semua keputusan harus mendapatkan persetujuan darinya. Tapi, posisi Ketua Umum juga tak kalah pentingnya. Sebagai mandataris, posisi Ketua Umum sangat dominan dalam mencetak hitam-putihnya organisasi. Maju-mundurnya organisasi sangat dipengaruhi oleh tingkah laku dan kebijakannya. Jika figur Ketua Umum adalah se- orang yang memiliki watak politisi, maka warna NU akan menjadi sangat politis, seperti saat kepemimpinan KH Hasyim Muzadi. Sementara jika figurnya adalah seorang intelektual, maka nuansa intelektualitas akan tampak dominan, seperti pada saat NU dipimpin KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Karenanya, Muktamar ke-32 ini adalah momentum memilih Rais Aam dan Ketua Umum yang tidak hanya bisa menyelesaikan semua problem di atas, tetapi juga memiliki kepribadian sangat baik. Pemimpin yang cerdas, jujur, visioner dan tidak mudah menuduh yang berbeda itu “sesat”. Pemimpin yang berani mengambil risiko, tidak “menjual” NU demi kepentingan pribadi, dan tidak menjerumuskan warganya dalam kehidupan yang sangat pragmatis.

NU juga membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki tradisi keilmuan (keagamaan dan umum) sangat kuat. Karena sebagai simbol organisasi keagamaan, figurnya dijadikan acuan masyarakat umum. Di samping itu, juga butuh figur yang mampu mengelola dan mengendalikan roda organisasi secara tepat, menjaga jamaah dari godaan ideologi konservatif dan keras, serta memiliki pengalaman internasional.
Inilah momentum memperbaiki organisasi yang dimulai dengan memilih figur tepat. Masih segar dalam pikiran kita, bahwa Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU) bukan hanya mewariskan kepada generasi sesudahnya berupa jama’ah (warga nahdliyin), tetapi juga mewariskan jam’iyah (organisasi) . Jadi sangat tidak masuk akal jika warganya saja yang diurusi, tetapi organisasinya dilupakan. Apalagi warganya dilupakan, organisasinya juga tidak pernah dipikirkan, hanya sebatas untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompok.

Sangat berisiko jika pemimpin NU ke depan adalah sosok yang tidak memenuhi kriteria di atas. Keterbelakangan yang dihadapi warga nahdliyin dalam berbagai aspek kehidupan (pendidikan, sosial, kesehatan, dan lainnya) harus segera dijawab dengan kebijakan dan penyelesaian yang tepat. Problemnya, adakah calon Rais Aam dan Ketua Umum yang memenuhi kriteria dan memiliki kepribadian seperti yang dibutuhkan warga nahdliyin tersebut di atas? Pasti ada.

Penulis adalah Nahdliyin, Tinggal di Demak, Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar