Selasa, 23 Maret 2010

NU dan Kebangkitan Islam Indonesia

Kebangkitan umat Islam dunia tidak bisa terlepas dari kebangkitan Islam di Indonesia sebagai negara dengan umat islam terbesar di dunia.

Namun, kebangkitan Islam di Indonesia juga tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan Nahdlatul Ulama sebagai kelompok terbesar umat Islam di Indonesia. Indonesia memiliki banyak faktor unggulan, antara lain: wilayahnya luas,letaknya strategis,dengan kekayaan alam yang melimpah serta beraneka, jumlah umat Islamnya terbesar,dan tidak kalah penting corak keislamannya yang moderat (tawassuth) dan toleran (tasamuh) terhadap kebhinekaan. Faktor terakhir adalah karakter keislaman Nusantara, keislaman yang dianut dan dihayati oleh NU. Namun, kebangkitan NU dan umat Islam di Indonesia itu tidak akan datang dengan sendirinya.

Konsekuensi logis dari pola pikir ini adalah keharusan untuk memperkuat NU secara matang dan sistematis. NU belum menata diri dengan semestinya selama ini.Dari waktu ke waktu selalu saja selalu ada pihak yang terus berusaha meminggirkan NU dan umatnya. Sebagian mereka karena pandangan keagamaannya yang picik dan menganggap dirinya yang paling benar, sebagian karena hasrat politik dan kekuasaan yang berlebihan. Selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir,NU kerap dipinggirkan dan dilemahkan, terutama di masa Orde Baru (Orba). Padahal Orba tidak mungkin hadir tanpa NU. Setiap bangsa ini dalam bahaya, NU dan para ulamanya selalu tampil di depan untuk menyelamatkannya.

Fatwa Jihad untuk mengusir penjajah di awal kemerdekaan adalah kontribusi nyata ulama NU terhadap Indonesia ketika negara pada kondisi yang sangat lemah. Selain memperhatikan gangguan dari luar, internal NU sendiri– baik jajaran pemimpin di semua level dan segenap warganya di seluruh pelosok negeri–harus berbenah secara super serius. Sayyidina Ali pernah mengatakan bahwa kebenaran tanpa nidham, gampang dikalahkan oleh kebatilan yang ber-nidham. Nidham adalah organisasi dan manajemen.Hanya dengan kejamaahan, suatu kelompok bisa mendapatkan kekuatan dari Allah SWT. Alaikum biljamaha; Yadullah fauqal jamaah (Kalian wajib berjamaah); Kekuatan Allah hanya dianugerahkan kepada mereka yang mau berjamaah.

Wadah kebersamaan (jamaah) itulah yang disebut jam’iyah, atau organisasi. Syarat utama dari kuatnya jam’iyah NU adalah kesepakatan mengenai tujuan bersama dan agenda bersama sebagai nahdliyin. Adapun tujuan bersama (ghayah ijtimaiyyah/ collective goal) warga nahdliyin dalam wadah NU adalah ”terwujudnya tatanan masyarakat Islam Indonesia yang maju dan bermartabat sesuai ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang bercirikan tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), tawassuth (moderat) dan i’tidal (lurus).

*** Mengacu pada apa yang dipikirkan para pendiri NU ada empat agenda besar jam’iyah: Pertama, agenda menjaga integritas dan keutuhan NKRI, seperti diinspirasikan oleh gerakan Nahdlatul Wathan(Kebangkitan Tanah Air). Kedua,agenda memajukan ”pemikiran keagamaan”yang mampu menjawab tantangan zaman yang terus berubah dan bergerak maju, seperti diinspirasikan oleh gerakan Tashwirul Afkar(Refomulasi Pemikiran Keagamaan). Ketiga,agenda memajukan ”kesejahteraan umat” dimulai dari yang paling nyata, kesejahteraan ekonomi, seperti diinspirasikan oleh gerakan Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Para Pedagang). Agenda keempat adalah mempertahankan ”Keberislaman yang santun dan kokoh dalam garis moderasi” seperti diinspirasikan oleh misi Komite Hijaz yang berisi ulama besar mancanegara dengan dipimpin KH Hasyim Asy’ari.

Sasaran tembak Komite Hijaz waktu itu adalah untuk menyangkal gerakan ekstrem kanan Wahabisme-Fundament alistik. Tapi secara implisit juga sekaligus koreksi terhadap kecenderungan ekstrem kiri Sekularisme– Liberalistik. Dari empat agenda itu, baru satu yang sudah berjalan dengan baik,yakni: agenda mempertahankan keutuhan NKRI. Baik ketika era revolusi kemerdekaan, ketika ada gangguan separatisme DI/TII, ketika menghadapi G30-S PKI,dan munculnya aksi separatisme belakangan ini.Tapi tiga agenda lainnya, harus diakui masih belum optimal pelaksanaannya. Untuk mendorong ketiga agenda tersebut, NU butuh kebersamaan yang kokoh dengan dukungan kepemimpinan yang solid dari, minimal tiga unsur.

Pertama, kalangan profesional terdidik yang memiliki kemampuan dan komitmen pengabdian, sebagai gugus andalan pelayanan umat garda depan,di semua lini; mulai pusat sampai di tingkat kepengurusan akar rumput. Komponen ini akan lebih baik kalau bisa mencapai 70% dari keseluruhan pengurus NU. Kedua, adalah para ulama/kiai yang berwawasan kepemimpinan (qiyadah) dan pengayoman (riayah), sebagai jangkar keutuhan serta integritas moral serta akhlaq Jam’iyah,mulai dari tingkat paling bawah sampai dengan tingkat teratas. Mendapatkan 25% saja komponen kedua dari keseluruhan kepengurusan sudah sangat bersyukur.

Ketiga,yang lebih elite dan khawasadalah gugusan awliyasebagai jangkar spiritual Jam’iyah; yakni orang-orang suci yang kesibukannya hanya berdoa dan berdoa dengan air mata dalam kesunyian malam agar NU dan bangsa ini tetap dalam perlindungan, bimbingan dan rida-Nya. Jika komponen ini ada 5% saja dari gugusan kepemimpinan NU, itu sudah sangat mewah. Karena inilah yang secara mendasar membedakan NU dari ormas lainnya. Tanpa kehadiran dan tangis mereka rasanya apalah bedanya NU dengan lainnya.

*** Perlu dilakukan dakwah secara serentak dari Sabang sampai Merauke, kepada penganut kultur keagamaan NU agar secara sadar bergabung dalam wadah Jamiyah NU. Untuk itu di semua sekolah, pesantren,musala dan masjid-masjid nahdliyin harus segera dibentuk kepengurusan NU. Perlu di- NU-kan warga NU dan sebaliknya yang bukan warga NU jangan diganggu. Hakikat NU adalah sebagai wadah keumatan.Sebagai organisasi, NU adalah ibarat masjid, masjid virtual (maknawi) yang tidak kasat- mata tapi nyata adanya.

Bedanya, masjid jasmani yang terbuat dari kayu dan beton adalah tempat menunaikan amal saleh perorangan (fardiyah) untuk hablun minallah secara berjamaah; sementara NU sebagai organisasi adalah masjid tempat menunaikan amal saleh kolektif (ijtimaiyah) secara berjamaah.Salat saja sebagai agenda perorangan (fardiyah) yang sah dilakukan sendirian toh disuruh berjamah; bagaimana dengan amaliyahkolektif (membangun kejayaan umat) yang tidak mungkin terwujud tanpa kebersamaan? Jamaah untuk kesalehan sosial jauh lebih diperintahkan dibanding dengan jamaah kesalehan individual. Maka membangun NU sebagai masjid virtual,masjid sosial, bisa lebih besar pahalanya, dibanding membangun masjid material.

Dan meramaikan NU sebagai masjid sosial dengan kesalehan sosial, tentunya juga lebih besar keutamaannya, dibanding dengan memakmurkan masjid material dengan kesalehan personal.Sebagai umat Islam yang mengemban cita-cita kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin) mutlak untuk membangun dan memakmurkan kedua jenis masjid tadi. Seseorang baru bisa disebut pengurus NU, kalau yang diurus lebih dari sekedar tahlil dan ngaji. Pengurus NU yang dicari adalah yang memajukan empat agenda besar NU untuk kepentingan warganya. Para Nahdliyin juga tidak cukup ber-NU sekedar dengan tahlil dan dibaan serta ngaji kitab kuning, yang kesemuanya adalah agenda perorangan. Tanpa organisasi NU pun tahlil, dibaan dan ngaji kitab kuning, bisa berjalan.

Tapi meski sudah tahlil dan qunut jika belum berperan nyata dalam kebangkitan umat Islam di Indonesia serta dunia, belumlah dapat disebut warga NU. Semua hal yang telah dijabarkan tidak mudah dicapai, di dunia ini sedikit sekali hal baik yang mudah. Tapi ingat,juga tidak ada yang mustahil, jika mau bekerja keras dan tidak gampang menyerah.Man jadda wajada (Siapa yang bersungguh- sungguh pasti dapat).(*)

Masdar F Mas’udi
Ketua Tanfidziyah PBNU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar